TUGAS BAHASA INDONESIA
MEMBUAT CERPEN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
HALIMATUSSA’DIYAH
XI IPA -1
SMAN 14 MEDAN
KADO TERAKHIR UNTUK NURIN
Aku merasa hidup dan berjalan di
dunia ini bagaikan tertatih. Jika orang
belum jauh mengenalku, maka mereka pasti berfikir seberapa indahnya hidupku.
Namun aku tak merasa seperti itu. aku terkadang merasa bahwa hidup ini tak
adil. Kenapa semua terjadi padaku? Kenapa harus aku?
****
“Nurin, sebelum
pergi sekolah minum obat dulu ya nak. Jangan lupa obatnya dibawa ke sekolah,”
Ummi yang sedang ada didapur memanggilku dengan sedikit berteriak.
“iyaa ummi”
Jawabku singkat.
Ummi berjalan ke
arahku, lalu memberikan sebuah bekal yang memang biasanya kubawa “Jangan lupa
juga makan bekalnya ya Nurin, nanti kalau abi udah pulang kerja, abi yang
jemput ya,”
“iya ummi, Nurin
pergi dulu ya, Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan ummi lalu berangkat ke
sekolah.
Namaku Nurin, lengkapnya Nurul Fauqa
Nurin Assyafa. Aku seorang gadis kecil yang belum genap berusia 14 tahun. Ummi
bilang, sejak kecil hati ku mengalami gangguan yang disebabkan oleh penyakit
Glikogenesis yang sudah ada sejak aku lahir. Kata Dokter, Glikogenesis adalah
penyakit keturunan yang disebabkan oleh penimbunan glikogen yang berlebihan
sehingga glikogen tersebut mengendap di dalam jaringan hati ku. Hal itu
menyebabkan setiap hari aku harus meminum obat dokter agar tingkat glikogen di
dalam tubuhku stabil.
Jujur, aku lelah, aku muak dengan semua obat-obat yang setiap harinya masuk ke
tubuhku. Obat-obat itu juga menghabiskan biaya yang cukup besar. Belum lagi
biaya sekolah aku dan kakakku yang bersekolah di sekolah bertaraf
Internasional, pasti menghabiskan biaya yang lumayan besar. Untunglah, keluarga
kami termasuk keluarga yang berada, bahkan mungkin berlebih sehingga Abi dan
Ummi masih bisa membiayai seluruh biaya pendidikan kami, juga biaya pengobatanku yang terbilang mahal.
****
Ini sekolahku, Medan International
Islamic Junior High School. Kakakku Shavina juga bersekolah disana. Hanya saja
ia bersekolah di bagian Senior High School, ia sudah duduk di SMA kelas 2. Ini
sahabat-sahabatku di kelas VIII-A Unggulan.
“ehm, ehm... yang
udah mau ulang tahun lagi ngelamun nih,, ngelamunin apaan sih??” Raina
membuyarkan lamunanku.
“iyaa, ngelamunin
Ridhan dia tuh,” Gina menyahut mengejekku.
“ihh, siapa juga
yang lagi mikirin si Ridhan,” jawabku sewot.
Mereka memang
sangat suka mengejek & menjodoh-jodohkanku dengan Ridhan, ketua kelas kami.
Mereka bilang dia suka padaku. Ridhan anak yang pintar, baik, “manis” dan juga
disiplin. Tak heran jika bu Arni, wali kelas kami menaruh simpati padanya. Namun
aku rasa Ridhan tak seperti itu, dia sangat menyebalkan dan sering
menggangguku. Padahal aku sama sekali tidak ada sedikitpun perasaan pada
Ridhan, usiaku masih 13 tahun.
“ahh, udahlah gak
usah ngomongin Ridhan segala, kita ke kantin aja yuk!,” aku mengalihkan
pembicaraan.
“ih, Nurin kok
tumben jajan di kantin? Bukannya kamu itu gak boleh makan makanan sembarangan
yaa??,” Gina mengingatkanku.
Ya, akibat
penyakit Glikogenesis-ku, setiap makanan yang masuk ke tubuhku harus diseleksi
terlebih dahulu. Aku tidak boleh makan dan jajan sembarangan. Aku lupa dengan
itu, sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa, aku
merasa risih & tidak suka saat teman-temanku membicarakan Ridhan.
“hemm, udah deh
aku masuk ke kelas dulu. Lagi males banget nih duduk di sini,”
Aku pun berlalu,
tak ingin mendengar omongan mereka tentang Ridhan yang menurutku sangat
membosankan, meskipun menurut teman-temanku Ridhan itu hampir mendekati
“perfect”. Aku tak perduli. Bagiku ia adalah orang yang paling menjengkelkan.
Dia sangat sering mengganggu dan menjahili.
***
Hari ini, pulang sekolah rasanya
dadaku sakit sekali. Mungkin aku harus check
up lagi. Aku pulang sendiri hari
ini. Abi tak sempat karena sibuk bekerja, kak Shavina ada les tambahan
disekolahnya. Aku pusing, mataku kabur, semua yang kulihat terasa seperti
berkunang-kunang. Aku jatuh, serta tak tau apapun lagi.
Aku membuka mataku, aku terkejut
Ridhan ada di depanku. Ia tersenyum, baru kali ini kusadari bahwa senyumnya
sangat manis. Padahal ia sudah biasa memberikan senyumnya untukku. Tapi kali
ini berbeda.
“aku dimana??,”
tanyaku.
“Nurin, kau
dirumahku. Tadi aku dan abangku melihatmu hampir pingsan di jalan raya. Saat
kau jatuh, kami segera membawamu kesini,”
“oh, iya.
Terimakasih. Ridhan, aku harus pulang. Ummi pasti mencariku.”
“ibuku sudah
menelpon ummi mu tadi, ummi mu akan sampai kesini sebentar lagi,”
“iya nak Nurin,
ibu sudah menelpon ummi mu. Kebetulan ummi nak Nurin itu adalah teman ibu,
syukurlah kalau nak Nurin sudah sadar. Ibu pergi ke belakang sebentar ya,”
“Nurin, kamu
kenapa? Kamu sakit?,” Ridhan bertanya dengan nada sok peduli.
“enggak kok, Cuma
kecapekan aja,” aku menjawab singkat dan cuek.
Aku membencinya,
kenapa ia harus bertanya seperti itu, urgghh!
****
Hari ini hari yang cerah, aku bisa
merasakannya. Sinar matahari yang cerah secerah suasana hatiku saat ini. Aku berjalan menyusuri jalanan di kota Medan ini bersama kedua sahabatku Raina dan
Gina. Berbelanja di mall, makan siang di mall, dan membeli beberapa
barang-barang bagus. Seakan-akan menghambur-hamburkan uang, padahal di luar
sana masih banyak orang yang kelaparan dan mengharap belas kasihan untuk
sejengkal perut. Kami memang tak menyadarinya.
Pulang dari berjalan-jalan seharian,
aku tidak ingin dijemput oleh abi ataupun kak Shavina. Aku pulang naik angkot
lalu menyusuri jalanan. Di sebuah persimpangan, aku melihat beberapa anak kecil
berpakaian kumal, sepertinya mereka satu keluarga, wajahnya bermiripan, bisa
dipastikan mereka semua berusia lebih muda dariku. Yang paling kecil berusia
sekitar 5-6 tahun, seusia adik sepupuku Haliza. Ia sangat lucu dan imut. Aku jadi
teringat padanya.
Aku memperhatikan mereka, ada yang
mengamen, meminta-minta dan ada yang berjualan keliling. Aku menjadi tertegun
melihatnya. Mengapa orang tua mereka membiarkan anaknya seperti itu? Mengapa
orang tua mereka begitu tega? Dimana hati mereka sebagai orangtua?
Aku menjadi
menggumam dan mengomel sendiri.
Kutemui beberapa anak itu, lalu ku
ajak mereka mengobrol, ingin tau rasanya mengapa mereka menjadi seperti itu.
aku memberikan dua lembar uang limaribuan dan beberapa snack, dan bertanya pada
anak yang paling kecil, mirip dengan adik sepupuku.
“adik namanya
siapa?”
“sari kak”
“oh, nama kakak
Nurin dek”
Ia hanya
mengangguk. Wajahnya terlihat sangat lelah, bukanlah wajah anak seusianya.
“oh iya, mereka
itu saudaramu ya?” tanyaku polos sambil menunjuk beberapa anak yang kulihat
bersamanya tadi.
“iya, kami lima
orang kak. Yang itu namanya bang doni, bang rian, yang itu kakakku kak ria sama kak asla”
jawabnya polos.
“oh, banyak ya.
Kakak cuma berdua. Cuma punya satu orang
kakak namanya kak Shavina. Oh iya, kamu usia berapa tahun?”
“ enam tahun kak”
“berarti sama dong
kayak adik sepupu kakak, namanya Haliza. Dia udah sekolah di Taman Kanak-Kanak.
Kamu udah sekolah, belum?”
“belum kak, bang
doni, bang rian sama kak asla aja gak sekolah kak”
“kenapa gak
sekolah? Orangtua kalian kemana?”
“kata kak ria,
orangtua kami udah pergi jauh ke tempat yang bagus, jadi sari gak boleh sedih
kalau ingat-ingat ayah sama bunda lagi kak” jawaban seorang anak berusia lima
tahun, polos namun sangat menyentuh. Membuatku sangat terenyuh dan merasa
bersalah akan pertanyaanku tentang orangtuanya.
“maaf ya dek,
kakak ga bermaksud buat sari sedih.”
Ia hanya tersenyum
tipis, membuatku semakin teriris.
Hari sudah hampir
sore, ummi dan abi pasti mencariku. Aku harus pulang. Aku pamit dengan sari.
“oh ya sari, kakak
pulang dulu ya, udah sore soalnya,”
“oh iya kak.
Makasi ya kak”
Aku pun
mengleluarkan uang sepuluh ribu dan memberikannya lagi pada sari.
Aku bertekad dalam
hati bahwa aku akan kembali kesini untuk bisa lebih mengenal mereka.
****
Hari ini aku berencana menemui anak
jalanan itu lagi, aku ingin lebih dekat dengan mereka. aku berjalan lagi
kesana. Tapi entah kenapa hari ini sepertinya aku kurang sehat, kepalaku terasa
pusing dan berat sekali. Namun kuputuskan untuk tetap pergi kesana, tak lupa
aku membeli beberapa snack dan makanan untuk mereka.
Aku sampai disini, tempat yang ramai
riuh, banyak aktivitas orang-orang seperti Sari dan saudaranya. Aku melihat
Sari, ia juga melihatku ternyata. Aku melambaikan tangan padanya. Ia datang
menemuiku.
“kak Nurin, ya?’
“iya Sari, kakak
bawa makanan lagi nih. Kali ini banyak makanannya, jadi abang sama kakakmu juga
bisa ikut makan.” Aku tersenyum dengan tulus.
Senang rasanya
bisa melihat mereka lahap menyantap makanan dariku. Kami pun sambil
berbincang-bincang, senangnya aku hari ini.
“oh iya, kalian
gak sekolah ya?”
“enggak kak,
jangankan untuk sekolah. Bisa makan aja kami semua untuk hari ini udah syukur
kak.” Salah satu dari mereka menjawab.
“oh gitu, maaf
kalau kakak nanya lagi ya. Tapi, orangtua kalian?”
“ayah sama bunda
udah meninggal sejak Sari masih berusia 3 tahun kak, sekitar tiga tahun lalu
lah kak. Mereka berdua kecelakaan kereta kak. Kereta yang dikendarai ayah
ditabrak angkot yang lagi ngebut. Waktu itu diantara kami gak ada yang ikut.”
Si sulung Doni bercerita panjang lebar membuatku seperti ingin menangis.
“iya, dari dulu
kami memang miskin kak, tapi kalau masih ada ayah sama bunda. Pasti mereka yang
cari uang buat kami. Jadi kami gak akan susah payah kayak gini kak. Ayah sama
bunda juga gak punya saudara disini, soalnya mereka itu dari perantauan.”
Kata-kata yang semakin membuat aku ingin menangis.
“kenapa kalian gak
ke panti asuhan aja? Disana kan dikasih makan?”
“udah pernah kak,
tapi ternyata kami dengar panti asuhan itu adalah sindikat penjualan anak. Kami
kan gak mau dijual kak, jadi kami kabur dari sana.”
Mereka bercerita
panjang lebar, setiap kata dari mereka sangat membuatku terenyuh dan selalu
ingin menangis. Untunglah aku bisa menahan air mata ini keluar.
Namun, aku merasakan kepalaku pusing, pusing
sekali, sepertinya sakitku kambuh lagi.
“kak, mukanya kok
pucat?” Asla, kakak Sari bertanya padaku.
“kakak sakit ya?”
salah seorang dari mereka bertanya lagi .
“iya, kakak emang
lagi sakit. Lagi demam, gak enak badan,” jawabku sedikit menyembunyikan
penyakitku yang sebenarnya.
“oh iya, kalau
gitu bentar Asla ambilin obat dulu ya kak,”
Aku kembali
tersentuh, mereka yang masih belum mampu saja ingin membantu orang yang jelas
berlebih dibandingkan mereka. meskipun hanya sekedar obat. Bukan masalah harga
obat itu, namun niat dan ketulusan membantu, padahal mereka sendiri juga butuh
bantuan, bisa disebut begitu.
Setelah minum obat
dan merasa agak baikan, aku pun pulang ke rumah. Hari ini aku mendapatkan banyak
pelajaran tentang bersyukur dalam kehidupan serta ketulusan. Aku berjanji akan
menjadi teman mereka dan sering mengunjungi mereka. aku juga berjanji akan
membantu mereka semampuku.
****
Aku bangun dari tempat tidurku,
melihat kalender. Ini sudah tanggal 1 Maret ternyata, sudah bulan Maret. Itu
berarti sebentar lagi aku genap berusia 14 tahun. Hanya tinggal menghitung
hari. Aku berencana akan mengajak Sari dan saudara-saudaranya makan di
restaurant saat aku ulang tahun nanti. Upppsss, tak lupa juga mengajak Raina
dan Gina. Itu tak boleh dilupakan.
“anak abi udah
bangun ya, cepat mandi nntar telat lho. Nanti gak sempat sarapan lagi.”
“iya, iya abi,”
aku pun berangkat ke kamar mandi seperti biasa, dengan mata yang masih setengah
tertutup.
Setelah selesai
bersiap-siap, saatnya sarapan. Aku, abi, ummi dan kak Shavina ada di meja
makan.
“ehm ehm, yang
bentar lagi ulang tahun, makin sok cantik aja, sok dewasa weee“ kak Shavina
meledekku, kami memang sering bercanda seperti itu.
“oh iya, nanti
Nurin mau dibeliin apa buat ulang tahunnya?”
“nanti deh bi,
Nurin kasih tau. Ntar kak Vina kepo,” aku menjulurkan lidah pada kakak semata
wayangku itu.
****
Di rumah sakit, masih awal Maret
2014.
Aku terbangun. Rasanya sudah lama
sekali aku tertidur. Aku merasa seperti asing dengan tempat ini, ini bukan
kamarku.
“Nurin di rumah
sakit ya mi? Kenapa Nurin bisa disini?”
“iya nak, kamu
koma sejak semalam kamu pingsan di sekolah, waktu kamu lagi olahraga,”
Oh iya, aku baru
teringat. Semalam sewaktu olahraga aku merasa sangat pusing dan tak sadarkan
diri. Abi datang ke ruang rawat inap ku, tapi wajahnya kusam.
“kenapa bi?”
“ummi, kata dokter
Nurin harus di operasi. Glikogen yang berlebihan dalam hatinya harus dibuang.”
“enggak, Nurin gak
mau di operasi. Nanti aja operasinya abis Nurin ulang tahun ya.”
“iya, iya sayang.
Oh ya, kamu belum bilang mau minta apa buat kado ulang tahun. Kamu mau apa
sayang?”
“abi, ummi, Nurin
punya temen, mereka 6 orang bersaudara. Mereka anak jalanan, anak yatim piatu,
gak sekolah,”
“trus?”
“Nurin pengennya
abi sama ummi bantu mereka, dan sekolahin mereka juga kalau bisa. Gak usah
sekolah ditempat yang mahal mi. Yang penting mereka bisa makan dan sekolah.
Kasihan mereka ummi, abi.”
“tapi kan nak,
membiayai pendidikan 6 orang anak? Ah, kita saja masih butuh uang untuk
pengobatan kamu nak, operasi itu biayanya gak sedikit,”
“abi, gak usah
pikirkan tentang penyakit Nurin ini, ada sebuah hikmah di balik semua ini bi,
karena Allah gak akan menimpakan suatu musibah yang tidak mampu dilewati oleh
hambanya, abi, ummi, ayolah...”
“lagipula bukannya
kita disuruh memelihara anak yatim sama Allah kan mi, dan sebagian harta milik
kita adalah hak orang yang tidak mampu, untuk itu kita harus mengeluarkan
zakat, iya kan mi? Ummi pernah bilang gitu kan?” aku menambahkan.
“iya, iya nak.
Insyaallah kami janji akan memenuhi permintaanmu. Asal kamu juga berjanji untuk
mau segera dioperasi ya, ini semua untuk kesembuhanmu,”
“iya, makasih ya
bi,”
Abi dan Ummi pun memenuhi
permintaanku, ia menelpon temannya yang bekerja di sebuah sekolah swasta untuk
mendaftarkan Doni, Rian, dan Asla di sekolah itu. Sedangkan Ria yang masih
berumur 7 tahun akan dimasukkan ke sekolah negeri dekat rumah mereka pada
semester ini. Dan Sari akan disekolahkan di sekolah yang sama dengan Ria tahun
depan. Karena ia belum cukup umur untuk masuk SDN. Usianya belum genap 6 tahun.
Aku bahagia sekali
mendengarnya, akhirnya aku dapat membuat hidupku yang singkat ini dapat berarti
untuk orang lain.
****
Ruang Operasi, 2 hari setelah hari
ulang tahunku.
Dokter menyuntikkan sesuatu ke
tubuhku. Aku terasa tak sadarkan diri. Aku seperti terbawa ke suatu tempat.
Indah, nyaman, banyak bunga-bunga, ada air terjun, dan semua keindahan yang
seperti nya belum ada kulihat di kota Medan tercinta ini. Ingin rasanya selalu
disana. Tiba-tiba tempat itu menghilang, berganti dengan suasana rumah sakit.
Ada abi, ummi, kak Vina, teman-teman sekelasku, Sari dan saudaranya juga ada.
Wajah mereka terlihat sangat cemas.
Aku terbangun, dadaku sangat sakit
rasanya. Abi, ummi, dan semua yang kulihat tadi sekarang ada di depanku.
Sekarang aku dalam alam sadar.
5 hari setelah ulang tahunku, 20
Maret 2014.
Aku lupa, sepertinya aku koma, aku
tak tahu apa yang terjadi. Namun aku melihat pemandangan indah itu lagi, dan
untuk kali ini aku berada sangat lama disini, tak ada sesuatu apapun yang dapat
membawaku pergi dari sini dan kembali bersama pada ummi dan abi. Aku kembali
tersadar. Aku tau ini saatnya aku pergi ke tempat yang indah itu. Tapi, aku
belum berpamitan pada abi dan ummi. Ummi selalu bilang, kalau mau pergi aku
harus pamit dulu.
“ummi, abi, kak
Vina, semuanya, Nurin mau pergi sekarang. Pergi ke tempat yang indah, tempatnya
indah banget , Nurin mau kesana ya mi, abi. Nurin pamit ya,”
Tak ada yang
menjawab, entah mengapa mereka semua menangis, padahal kan aku cuma mau pergi
tamasya ke tempat yang indah.
“Laa
Ilahaillallah, Muhammad rasulullah”
Aku pun kembali ke
taman itu, aku tak lagi memikirkan abi dan ummi. Aku ingin tinggal disini
selamanya, bersama semua malaikat penjagaku. Aku bersyukur bisa menjadi orang
yang berarti untuk Sari dan saudara-saudaranya sebelum mengakhiri hidupku yang
singkat ini. Bahagia rasanya jika bisa menjadi orang yang berguna bagi
kehidupan orang lain. Aku bisa tenang disini. Sangat tenang disini. Terimakasih
sudah memenuhi permintaanku abi, ummi, terimakasih untuk kado terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar