Assalamu'alaikum ^_~

Selamat Datang di Blog Saya... terimakasih :)

Sabtu, 05 April 2014

Tugas Membuat Cerpen : Kado Terakhir Untuk Nurin





TUGAS BAHASA INDONESIA

MEMBUAT CERPEN


D
I
S
U
S
U
N


OLEH :

HALIMATUSSA’DIYAH
XI IPA -1

SMAN 14 MEDAN
KADO TERAKHIR UNTUK NURIN

            Aku merasa hidup dan berjalan di dunia ini bagaikan tertatih. Jika  orang belum jauh mengenalku, maka mereka pasti berfikir seberapa indahnya hidupku. Namun aku tak merasa seperti itu. aku terkadang merasa bahwa hidup ini tak adil. Kenapa semua terjadi padaku? Kenapa harus aku?
****

“Nurin, sebelum pergi sekolah minum obat dulu ya nak. Jangan lupa obatnya dibawa ke sekolah,” Ummi yang sedang ada didapur memanggilku dengan sedikit berteriak.
“iyaa ummi” Jawabku singkat.
Ummi berjalan ke arahku, lalu memberikan sebuah bekal yang memang biasanya kubawa “Jangan lupa juga makan bekalnya ya Nurin, nanti kalau abi udah pulang kerja, abi yang jemput ya,”
“iya ummi, Nurin pergi dulu ya, Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan ummi lalu berangkat ke sekolah.
            Namaku Nurin, lengkapnya Nurul Fauqa Nurin Assyafa. Aku seorang gadis kecil yang belum genap berusia 14 tahun. Ummi bilang, sejak kecil hati ku mengalami gangguan yang disebabkan oleh penyakit Glikogenesis yang sudah ada sejak aku lahir. Kata Dokter, Glikogenesis adalah penyakit keturunan yang disebabkan oleh penimbunan glikogen yang berlebihan sehingga glikogen tersebut mengendap di dalam jaringan hati ku. Hal itu menyebabkan setiap hari aku harus meminum obat dokter agar tingkat glikogen di dalam tubuhku stabil.
            Jujur, aku lelah, aku muak dengan  semua obat-obat yang setiap harinya masuk ke tubuhku. Obat-obat itu juga menghabiskan biaya yang cukup besar. Belum lagi biaya sekolah aku dan kakakku yang bersekolah di sekolah bertaraf Internasional, pasti menghabiskan biaya yang lumayan besar. Untunglah, keluarga kami termasuk keluarga yang berada, bahkan mungkin berlebih sehingga Abi dan Ummi masih bisa membiayai seluruh biaya pendidikan kami,  juga biaya pengobatanku yang terbilang mahal.

****
            Ini sekolahku, Medan International Islamic Junior High School. Kakakku Shavina juga bersekolah disana. Hanya saja ia bersekolah di bagian Senior High School, ia sudah duduk di SMA kelas 2. Ini sahabat-sahabatku di kelas VIII-A Unggulan.

“ehm, ehm... yang udah mau ulang tahun lagi ngelamun nih,, ngelamunin apaan sih??” Raina membuyarkan lamunanku.
“iyaa, ngelamunin Ridhan dia tuh,” Gina menyahut mengejekku.
“ihh, siapa juga yang lagi mikirin si Ridhan,” jawabku sewot.

Mereka memang sangat suka mengejek & menjodoh-jodohkanku dengan Ridhan, ketua kelas kami. Mereka bilang dia suka padaku. Ridhan anak yang pintar, baik, “manis” dan juga disiplin. Tak heran jika bu Arni, wali kelas kami menaruh simpati padanya. Namun aku rasa Ridhan tak seperti itu, dia sangat menyebalkan dan sering menggangguku. Padahal aku sama sekali tidak ada sedikitpun perasaan pada Ridhan, usiaku masih 13 tahun.

“ahh, udahlah gak usah ngomongin Ridhan segala, kita ke kantin aja yuk!,” aku mengalihkan pembicaraan.
“ih, Nurin kok tumben jajan di kantin? Bukannya kamu itu gak boleh makan makanan sembarangan yaa??,” Gina mengingatkanku.
Ya, akibat penyakit Glikogenesis-ku, setiap makanan yang masuk ke tubuhku harus diseleksi terlebih dahulu. Aku tidak boleh makan dan jajan sembarangan. Aku lupa dengan itu, sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa, aku merasa risih & tidak suka saat teman-temanku membicarakan Ridhan.
“hemm, udah deh aku masuk ke kelas dulu. Lagi males banget nih duduk di sini,”
Aku pun berlalu, tak ingin mendengar omongan mereka tentang Ridhan yang menurutku sangat membosankan, meskipun menurut teman-temanku Ridhan itu hampir mendekati “perfect”. Aku tak perduli. Bagiku ia adalah orang yang paling menjengkelkan. Dia sangat sering mengganggu dan menjahili.

***

            Hari ini, pulang sekolah rasanya dadaku sakit sekali. Mungkin aku harus check up lagi.  Aku pulang sendiri hari ini. Abi tak sempat karena sibuk bekerja, kak Shavina ada les tambahan disekolahnya. Aku pusing, mataku kabur, semua yang kulihat terasa seperti berkunang-kunang. Aku jatuh, serta tak tau apapun lagi.
            Aku membuka mataku, aku terkejut Ridhan ada di depanku. Ia tersenyum, baru kali ini kusadari bahwa senyumnya sangat manis. Padahal ia sudah biasa memberikan senyumnya untukku. Tapi kali ini berbeda.
“aku dimana??,” tanyaku.
“Nurin, kau dirumahku. Tadi aku dan abangku melihatmu hampir pingsan di jalan raya. Saat kau jatuh, kami segera membawamu kesini,”
“oh, iya. Terimakasih. Ridhan, aku harus pulang. Ummi pasti mencariku.”
“ibuku sudah menelpon ummi mu tadi, ummi mu akan sampai kesini sebentar lagi,”
“iya nak Nurin, ibu sudah menelpon ummi mu. Kebetulan ummi nak Nurin itu adalah teman ibu, syukurlah kalau nak Nurin sudah sadar. Ibu pergi ke belakang sebentar ya,”
“Nurin, kamu kenapa? Kamu sakit?,” Ridhan bertanya dengan nada sok peduli.
“enggak kok, Cuma kecapekan aja,” aku menjawab singkat dan cuek.
Aku membencinya, kenapa ia harus bertanya seperti itu, urgghh!

****
            Hari ini hari yang cerah, aku bisa merasakannya. Sinar matahari yang cerah secerah suasana hatiku saat ini.  Aku berjalan menyusuri jalanan di kota  Medan ini bersama kedua sahabatku Raina dan Gina. Berbelanja di mall, makan siang di mall, dan membeli beberapa barang-barang bagus. Seakan-akan menghambur-hamburkan uang, padahal di luar sana masih banyak orang yang kelaparan dan mengharap belas kasihan untuk sejengkal perut. Kami memang tak menyadarinya.
            Pulang dari berjalan-jalan seharian, aku tidak ingin dijemput oleh abi ataupun kak Shavina. Aku pulang naik angkot lalu menyusuri jalanan. Di sebuah persimpangan, aku melihat beberapa anak kecil berpakaian kumal, sepertinya mereka satu keluarga, wajahnya bermiripan, bisa dipastikan mereka semua berusia lebih muda dariku. Yang paling kecil berusia sekitar 5-6 tahun, seusia adik sepupuku Haliza. Ia sangat lucu dan imut. Aku jadi teringat padanya.
            Aku memperhatikan mereka, ada yang mengamen, meminta-minta dan ada yang berjualan keliling. Aku menjadi tertegun melihatnya. Mengapa orang tua mereka membiarkan anaknya seperti itu? Mengapa orang tua mereka begitu tega? Dimana hati mereka sebagai orangtua?
Aku menjadi menggumam dan mengomel sendiri.
            Kutemui beberapa anak itu, lalu ku ajak mereka mengobrol, ingin tau rasanya mengapa mereka menjadi seperti itu. aku memberikan dua lembar uang limaribuan dan beberapa snack, dan bertanya pada anak yang paling kecil, mirip dengan adik sepupuku.
“adik namanya siapa?”
“sari kak”
“oh, nama kakak Nurin dek”
Ia hanya mengangguk. Wajahnya terlihat sangat lelah, bukanlah wajah anak seusianya.
“oh iya, mereka itu saudaramu ya?” tanyaku polos sambil menunjuk beberapa anak yang kulihat bersamanya tadi.
“iya, kami lima orang kak. Yang itu namanya bang doni, bang rian,  yang itu kakakku kak ria sama kak asla” jawabnya polos.
“oh, banyak ya. Kakak cuma berdua.  Cuma punya satu orang kakak namanya kak Shavina. Oh iya, kamu usia berapa tahun?”
“ enam tahun kak”
“berarti sama dong kayak adik sepupu kakak, namanya Haliza. Dia udah sekolah di Taman Kanak-Kanak. Kamu udah sekolah, belum?”
“belum kak, bang doni, bang rian sama kak asla aja gak sekolah kak”
“kenapa gak sekolah? Orangtua kalian kemana?”
“kata kak ria, orangtua kami udah pergi jauh ke tempat yang bagus, jadi sari gak boleh sedih kalau ingat-ingat ayah sama bunda lagi kak” jawaban seorang anak berusia lima tahun, polos namun sangat menyentuh. Membuatku sangat terenyuh dan merasa bersalah akan pertanyaanku tentang orangtuanya.
“maaf ya dek, kakak ga bermaksud buat sari sedih.”
Ia hanya tersenyum tipis, membuatku semakin teriris.
Hari sudah hampir sore, ummi dan abi pasti mencariku. Aku harus pulang. Aku pamit dengan sari.
“oh ya sari, kakak pulang dulu ya, udah sore soalnya,”
“oh iya kak. Makasi ya kak”
Aku pun mengleluarkan uang sepuluh ribu dan memberikannya lagi pada sari.
Aku bertekad dalam hati bahwa aku akan kembali kesini untuk bisa lebih mengenal mereka.

****
            Hari ini aku berencana menemui anak jalanan itu lagi, aku ingin lebih dekat dengan mereka. aku berjalan lagi kesana. Tapi entah kenapa hari ini sepertinya aku kurang sehat, kepalaku terasa pusing dan berat sekali. Namun kuputuskan untuk tetap pergi kesana, tak lupa aku membeli beberapa snack dan makanan untuk mereka.
            Aku sampai disini, tempat yang ramai riuh, banyak aktivitas orang-orang seperti Sari dan saudaranya. Aku melihat Sari, ia juga melihatku ternyata. Aku melambaikan tangan padanya. Ia datang menemuiku.
“kak Nurin, ya?’
“iya Sari, kakak bawa makanan lagi nih. Kali ini banyak makanannya, jadi abang sama kakakmu juga bisa ikut makan.” Aku tersenyum dengan tulus.
Senang rasanya bisa melihat mereka lahap menyantap makanan dariku. Kami pun sambil berbincang-bincang, senangnya aku hari ini.
“oh iya, kalian gak sekolah ya?”
“enggak kak, jangankan untuk sekolah. Bisa makan aja kami semua untuk hari ini udah syukur kak.” Salah satu dari mereka menjawab.
“oh gitu, maaf kalau kakak nanya lagi ya. Tapi, orangtua kalian?”
“ayah sama bunda udah meninggal sejak Sari masih berusia 3 tahun kak, sekitar tiga tahun lalu lah kak. Mereka berdua kecelakaan kereta kak. Kereta yang dikendarai ayah ditabrak angkot yang lagi ngebut. Waktu itu diantara kami gak ada yang ikut.” Si sulung Doni bercerita panjang lebar membuatku seperti ingin menangis.
“iya, dari dulu kami memang miskin kak, tapi kalau masih ada ayah sama bunda. Pasti mereka yang cari uang buat kami. Jadi kami gak akan susah payah kayak gini kak. Ayah sama bunda juga gak punya saudara disini, soalnya mereka itu dari perantauan.” Kata-kata yang semakin membuat aku ingin menangis.
“kenapa kalian gak ke panti asuhan aja? Disana kan dikasih makan?”
“udah pernah kak, tapi ternyata kami dengar panti asuhan itu adalah sindikat penjualan anak. Kami kan gak mau dijual kak, jadi kami kabur dari sana.”
Mereka bercerita panjang lebar, setiap kata dari mereka sangat membuatku terenyuh dan selalu ingin menangis. Untunglah aku bisa menahan air mata ini keluar.

 Namun, aku merasakan kepalaku pusing, pusing sekali, sepertinya sakitku kambuh lagi.
“kak, mukanya kok pucat?” Asla, kakak Sari bertanya padaku.
“kakak sakit ya?” salah seorang dari mereka bertanya lagi .
“iya, kakak emang lagi sakit. Lagi demam, gak enak badan,” jawabku sedikit menyembunyikan penyakitku yang sebenarnya.
“oh iya, kalau gitu bentar Asla ambilin obat dulu ya kak,”
Aku kembali tersentuh, mereka yang masih belum mampu saja ingin membantu orang yang jelas berlebih dibandingkan mereka. meskipun hanya sekedar obat. Bukan masalah harga obat itu, namun niat dan ketulusan membantu, padahal mereka sendiri juga butuh bantuan, bisa disebut begitu.

Setelah minum obat dan merasa agak baikan, aku pun pulang ke rumah. Hari ini aku mendapatkan banyak pelajaran tentang bersyukur dalam kehidupan serta ketulusan. Aku berjanji akan menjadi teman mereka dan sering mengunjungi mereka. aku juga berjanji akan membantu mereka semampuku.

****
            Aku bangun dari tempat tidurku, melihat kalender. Ini sudah tanggal 1 Maret ternyata, sudah bulan Maret. Itu berarti sebentar lagi aku genap berusia 14 tahun. Hanya tinggal menghitung hari. Aku berencana akan mengajak Sari dan saudara-saudaranya makan di restaurant saat aku ulang tahun nanti. Upppsss, tak lupa juga mengajak Raina dan Gina. Itu tak boleh dilupakan.
           
“anak abi udah bangun ya, cepat mandi nntar telat lho. Nanti gak sempat sarapan lagi.”
“iya, iya abi,” aku pun berangkat ke kamar mandi seperti biasa, dengan mata yang masih setengah tertutup.
Setelah selesai bersiap-siap, saatnya sarapan. Aku, abi, ummi dan kak Shavina ada di meja makan.
“ehm ehm, yang bentar lagi ulang tahun, makin sok cantik aja, sok dewasa weee“ kak Shavina meledekku, kami memang sering bercanda seperti itu.
“oh iya, nanti Nurin mau dibeliin apa buat ulang tahunnya?”
“nanti deh bi, Nurin kasih tau. Ntar kak Vina kepo,” aku menjulurkan lidah pada kakak semata wayangku itu.

****
            Di rumah sakit, masih awal Maret 2014.
            Aku terbangun. Rasanya sudah lama sekali aku tertidur. Aku merasa seperti asing dengan tempat ini, ini bukan kamarku.
“Nurin di rumah sakit ya mi? Kenapa Nurin bisa disini?”
“iya nak, kamu koma sejak semalam kamu pingsan di sekolah, waktu kamu lagi olahraga,”
Oh iya, aku baru teringat. Semalam sewaktu olahraga aku merasa sangat pusing dan tak sadarkan diri. Abi datang ke ruang rawat inap ku, tapi wajahnya kusam.
“kenapa bi?”
“ummi, kata dokter Nurin harus di operasi. Glikogen yang berlebihan dalam hatinya harus dibuang.”
“enggak, Nurin gak mau di operasi. Nanti aja operasinya abis Nurin ulang tahun ya.”
“iya, iya sayang. Oh ya, kamu belum bilang mau minta apa buat kado ulang tahun. Kamu mau apa sayang?”
“abi, ummi, Nurin punya temen, mereka 6 orang bersaudara. Mereka anak jalanan, anak yatim piatu, gak sekolah,”
“trus?”
“Nurin pengennya abi sama ummi bantu mereka, dan sekolahin mereka juga kalau bisa. Gak usah sekolah ditempat yang mahal mi. Yang penting mereka bisa makan dan sekolah. Kasihan mereka ummi, abi.”
“tapi kan nak, membiayai pendidikan 6 orang anak? Ah, kita saja masih butuh uang untuk pengobatan kamu nak, operasi itu biayanya gak sedikit,”
“abi, gak usah pikirkan tentang penyakit Nurin ini, ada sebuah hikmah di balik semua ini bi, karena Allah gak akan menimpakan suatu musibah yang tidak mampu dilewati oleh hambanya, abi, ummi, ayolah...”
“lagipula bukannya kita disuruh memelihara anak yatim sama Allah kan mi, dan sebagian harta milik kita adalah hak orang yang tidak mampu, untuk itu kita harus mengeluarkan zakat, iya kan mi? Ummi pernah bilang gitu kan?” aku menambahkan.
“iya, iya nak. Insyaallah kami janji akan memenuhi permintaanmu. Asal kamu juga berjanji untuk mau segera dioperasi ya, ini semua untuk kesembuhanmu,”
“iya, makasih ya bi,”

            Abi dan Ummi pun memenuhi permintaanku, ia menelpon temannya yang bekerja di sebuah sekolah swasta untuk mendaftarkan Doni, Rian, dan Asla di sekolah itu. Sedangkan Ria yang masih berumur 7 tahun akan dimasukkan ke sekolah negeri dekat rumah mereka pada semester ini. Dan Sari akan disekolahkan di sekolah yang sama dengan Ria tahun depan. Karena ia belum cukup umur untuk masuk SDN. Usianya belum genap 6 tahun.
Aku bahagia sekali mendengarnya, akhirnya aku dapat membuat hidupku yang singkat ini dapat berarti untuk orang lain.

****
            Ruang Operasi, 2 hari setelah hari ulang tahunku.
            Dokter menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku terasa tak sadarkan diri. Aku seperti terbawa ke suatu tempat. Indah, nyaman, banyak bunga-bunga, ada air terjun, dan semua keindahan yang seperti nya belum ada kulihat di kota Medan tercinta ini. Ingin rasanya selalu disana. Tiba-tiba tempat itu menghilang, berganti dengan suasana rumah sakit. Ada abi, ummi, kak Vina, teman-teman sekelasku, Sari dan saudaranya juga ada. Wajah mereka terlihat sangat cemas.
            Aku terbangun, dadaku sangat sakit rasanya. Abi, ummi, dan semua yang kulihat tadi sekarang ada di depanku. Sekarang aku dalam alam sadar.

            5 hari setelah ulang tahunku, 20 Maret 2014.
            Aku lupa, sepertinya aku koma, aku tak tahu apa yang terjadi. Namun aku melihat pemandangan indah itu lagi, dan untuk kali ini aku berada sangat lama disini, tak ada sesuatu apapun yang dapat membawaku pergi dari sini dan kembali bersama pada ummi dan abi. Aku kembali tersadar. Aku tau ini saatnya aku pergi ke tempat yang indah itu. Tapi, aku belum berpamitan pada abi dan ummi. Ummi selalu bilang, kalau mau pergi aku harus pamit dulu.
“ummi, abi, kak Vina, semuanya, Nurin mau pergi sekarang. Pergi ke tempat yang indah, tempatnya indah banget , Nurin mau kesana ya mi, abi. Nurin pamit ya,”
Tak ada yang menjawab, entah mengapa mereka semua menangis, padahal kan aku cuma mau pergi tamasya ke tempat yang indah.
“Laa Ilahaillallah, Muhammad rasulullah”

Aku pun kembali ke taman itu, aku tak lagi memikirkan abi dan ummi. Aku ingin tinggal disini selamanya, bersama semua malaikat penjagaku. Aku bersyukur bisa menjadi orang yang berarti untuk Sari dan saudara-saudaranya sebelum mengakhiri hidupku yang singkat ini. Bahagia rasanya jika bisa menjadi orang yang berguna bagi kehidupan orang lain. Aku bisa tenang disini. Sangat tenang disini. Terimakasih sudah memenuhi permintaanku abi, ummi, terimakasih untuk kado terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar